Tuesday 31 August 2021

Bung di Banda, Novel Berlatar Sejarah karya Sergius Sutanto

Halo semuanyaa...

Bagaimana bulan Agustus teman-teman semua? Tidak terasa bulan Agustus sudah mau berakhir ya. Sebagai bulan kemerdekaan, banyak hal menarik di bulan ini. Yang paling membanggakan tentu saja perolehan emas oleh Greysia Polii dan Apriyani Rahayu di Olimpiade Tokyo 2020. 😍 Yang ikut nangis waktu lagu Indonesia Raya berkumandang di Olimpiade Tokyo tunjuk tangaann... ☝ 

Selain itu, ada beberapa lagu bertema Indonesia yang keren banget menurut saya tayang di Youtube di Agustus 2021 ini, seperti lagu This is Indonesia by Atta Halilintar dkk, dan Wonderland Indonesia by Alffy Rev (ft. Novia Bachmid). Sumpah ya, Indonesia itu indah banget... 

Bulan Agustus juga kurva covid udah semakin melandai, setelah bulan sebelumnya rumah sakit pada penuh. Belum lagi berita kehilangan silih berganti di terima, bahkan dari circle terdekat. Huhuh.. Mudah-mudahan Indonesia akan kembali bangkit yaa, dan berhasil keluar dari pandemi ini...

Karena masih dalam nuansa bulan kemerdekaan, saya punya rekomendasi buku bagus berlatar sejarah. Beberapa hari yang lalu saya beruntung dikirimi buku bagus oleh Penerbit Gagasmedia sebelum bukunya dilempar secara luas ke pasaran. Saking bagusnya, saya sampai nggak rela waktu menamatkan bukunya dan langsung nyari-nyari buku karya penulis ini yang lain buat dibeli. Buku yang saya maksud adalah buku berjudul Bung di Banda, karya Sergius Sutanto


Bung di Banda buku Sergius Sutanto

Blurb
Dari pengasingan demi pengasingan, Digul hingga Banda Naira, bagi Sjahrir, memikirkan Maria Duchateau, sang istri yang terpaksa dipulangkan ke Belanda, adalah kemewahan tersendiri. Surat demi surat pun ditulis kepada Maria. 
Di tengah harapan cinta yang semakin menggunung, cita-cita Sutan Sjahrir atas Indonesia merdea tak kunjung surut. Di Banda Naira, bersama Bung Hatta, Dokter Tjipto Mangoenkoesoo, dan Iwa Koesoema Soemantri, mereka menggagas ide kebangsaan, dan mendirikan sekolah informal, dan mereka mendidik masyarakat Banda untuk melihat dunia lebih luas.
Tidak mudah bagi keempat tokoh ini menjalani kehidupan di 'tanah pembuangan' Banda Naira. Mesi dikenal memiliki alam dan pantai yang indah, Banda Naira di era kolonial tak ubahnya 'Kota Mati' yang mengimpan misteri dan sejarah kelam serta serangkaian musibah yang mengintai. 
Bung di Banda menceritakan pergulatan empat tokoh menghabiskan waktu di sebuah pulang pengasingan-tempat sunyi untuk menyeam diri sendiri dengan persoalan masing-masing dan tak lupa bersama-sama memikirkan masa depan bangsa. 

Novel Berlatar Sejarah

Dari dulu, saya sangat lemah di pelajaran sejarah. Saya tidak betah berlama-lama membaca sejarah dan menghapalkan nama-nama, tempat dan tahun-tahun kejadian sejarah. Sekarang saya sadar akar permasalahannya, hal ini terjadi karena sejarah dulu dibungkus sebagai suatu hapalan rentetean peristiwa semata. Entah di sekolah lain, tapi di sekolah saya itu lah yang terjadi. Andai pelajaran sejarah lebih fokus menceritakan kejadiannya, penyebab dan latar belakangnya, apalagi dibungkus seperti novel, pasti akan pasti banyak anak yang berminat dengan sejarah.

Itulah yang ada pada buku Bung di Banda ini. Buku ini menceritakan kisah pengasingan Sutan Sjahrir dan Bung Hatta di Banda Naira, Maluku Tengah setelah dipindahkan dari pengasingan di Digul. Kisah dituturkan dari sudut pandang pertama, Sutan Sjahrir dalam bentuk sebuah novel. Walaupun novel, mayoritas kisah pada buku ini adalah kisah nyata. Bahkan terdapat selipan surat-surat yang memang ditulis Sutan Sjahrir sendiri selama di Banda. 

Mungkin penulis ingin tetap menyebut ini novel karena ada beberapa dialog atau penceritaan merupakan rekaan agar membuat cerita semakin mengalir. Agar tidak dianggap biografi juga mungkin ya.. 😆

Novelisasi kisah pengasingan Sutan Sjahrir bersama Muhammad Hatta, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Iwa Koesoema Soemantri di Banda Naira, 1936-1942 
Cerita berdasar catatan dan dokumentasi tulisan para tokoh. Sebagian nama, tempat dan kejadian adalah nyata. Namun, sebagian lagi telah disesuaikan untuk kepentingan cerita.


Menariknya latar sejarah pada buku ini, membuat kita paham bagaimana pergerakan para pejuang sebelum Indonesia merdeka. Ternyata memperoleh kemerdekaan tidak melulu dengan mengangkat senjata dan perang kolosal yang saya bayangkan seperti di film-film. Ternyata Belanda justru lebih takut dengan pergerakan menggalakkan pendidikan seperti yang dilakukan oleh Hatta dan Sutan Sjahrir, gerakan agar pribumi memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan. 

Baca jugaPerawan Remaja dalam Cengkraman Militer by Pramoedya Ananta Toer

Pada buku ini kita juga akan mendapat gambaran bagaimana paham kolonial itu dilakukan. Bagaimana mereka menjadikan kita golongan rendah di tanah air sendiri. Sementara mereka dengan seenaknya mengambil kekayaan alam kita untuk kemakmuran mereka sendiri. 

Inlanders en honden geen toegang!  itu adalah kata-kata yang banyak bertebaran dimana-mana dulu di tanah air di masa kolonial. Menggambarkan betapa diskiriminatisnya kondisi di jaman kolonial. Kata-kata ini selalu membuat Sutan Sjahril mendidih saat mendengarnya. Artinya, anjing dan pribumi dilarang masuk. 

Kamu senang jika bangsamu dianggap sama dengan hewan? - hal 202

Bajak Patah Bantiang Tarambua

Bajak Patah Bantiang Tarambua adalah pepatah Minang yang sempat disebut Sutan Sjahrir di halaman 24, artinya kemalangan yang datang bertubi-tubi, dan harus disikapi dengan sabar. Itulah yang terjadi dengan Sutan Sjahrir. Baru saja ia menikah dengan Maria Duchateau, seoarang wanita berdarah Belanda-Prancis, ia harus mengalami kemalangan bertubi-tubi. Mulai dari penolakan dari pemerintahan Belanda yang mengatakan perkawinan mereka tidak sah, celaan dari kaum beragama tanah air karena ia menikah dengan orang luar. Maria akhirnya dipaksa balik ke Belanda, tidak lama setelah itu, Sutan Sjahrir ditangkap masuk penjara, kemudian diasingkan ke Digul, tidak lama setelah Hatta yang sudah duluan ditangkap. 

Saking jongkoknya pengetahuan sejarah saya, saya baru tahu kalau Sutan Sjahrir dulu sampai diasingkan 😅. Dulu saya kira, kalau ada yang bersebrangan dengan Belanda, maka akan masuk penjara. Tapi ternyata tidak seperti itu, mereka justru diasingkan ke tempat jauh dari Jawa. Bahkan diberi santunan untuk biaya hidup. Bukan, bukan karena Belanda itu baik, tapi agar mereka yang diasingkan tidak perlu bekerja dan banyak berinterksi dengan orang lain. Agar tidak menyebarkan paham-paham yang tidak diinginkan Belanda. Menurut mereka, itu adalah cara untuk membungkam orang-orang pergerakan tersebut. 

Belajar dari Orang Besar

Hal menarik dari membaca kisah nyata itu adalah bagaimana kita bisa mencuri hal-hal baik dari tokoh yang diceritakan. Pada buku ini, Hatta dan Sjahrir menjadi orang besar tidak semata-mata tiba-tiba muncul begitu saja. Begitu juga dengan Dr Tjipto dan Iwa, yang sudah duluan diasingkan sejak 8 tahun sebelumnya ke Banda Naira. 

Mereka menjadi hebat karena semua buah dari kerja keras, belajar dan pengorbanan mereka. Kalau mereka memilih mengikuti Belanda, mereka bisa banget hidup makmur sebagai antek kolonial. Tapi mereka memilih mempertahankan ideologi mereka karena mereka percaya Hindia Belanda itu layak merdeka. 

Selama proses pengasingan, mereka menyisihkan uang untuk membeli buku-buku mulai dari buku politik, ekonomi, sasta, ensiklopedia yang dikirim melalui kapal dari Batavia, Belanda, dan daerah-daerah lainnya. Bahkan waktu dari Digul ke Banda, Bung Hatta sendiri membawa 16 koper berisi koleksi bukunya. Itu masih banyak juga yang ditinggal di Digul untuk bisa dibaca teman pengasingan di sana. Mereka juga rajin menulis dan menjadi kontributor berbagai media cetak. Kok saya kebayang mereka itu di rumah aja, jauh dari Jawa, kayak kita yang sekarang yang lagi WFH ya 😁  Bedanya, mereka selama pengasingan membaca beratus-ratus buku, belajar berbagai hal, mengembangkan masyarakat Banda dan tetap berkontribusi untuk negara. Sedangkan saya? #eh 😅

Baca juga Mengajak Anak ke Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi 

Pengasingan juga tidak menyurutkan semangat mereka untuk berkontribusi untuk pendidikan. Mereka bahkan membuka sekolah informal untuk anak-anak di Banda. Mengajarkan berbagai macam hal, sampai berbagai bahasa asing. Karena kalau mau bersaing dengan kolonial, kata Hatta dan Sjahril kita harus paham dengan bahasa mereka.


Bung di Banda buku Sergius Sutanto
Buku Bung di Banda, dengan koleksi perangko Indonesia klasik dan gambar tema kemerdekaan bikinan anak saya Talitha

Sumpah saya kagum banget sama semangat para pahlawan ini 😭 I'm craving more about their stories...

Feodal dan kolonial sama-sama biang kerok penderitaan rakyat. Dalam masyarakat feodal, keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan keahlian dan kemampuannya. Hingga ana desa akan tetap terbelakang dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya - hal 83

Film Dokumenter Bung di Banda

Penulis buku ini, Sergius Sutanto, adalah penulis dan sutradara film. Sebelum buku Bung di Banda, ia telah menerbitkan buku-buku lain berlatar sejarah yaitu HATTA: Aku Datang Karena Sejarah (Penerbit Mizan, 2013, terbit ulang 2018), MANGUN: sebuah novel (Penerbit Elex Media Komputindo-Gramedia, 2016), dan CHAIRIL: Ini Kali Tak Ada Yang Mencari Cinta (Penerbit Mizan, 2017). Membaca kisah Sutan Sjahril ini, saya juga makin tertarik dengan Hatta. Mudah-mudahan segera kesampaian untuk membaca bukunya yang lain. 

Selain buku-buku itu, ternyata Sergius Sutanto sudah sempat merilis film dokumentar Bung di Banda. Buat kamu yang penasaran dengan buku ini, bisa juga nonton film dokumenter ini. 


Rating

Wuaa, tidak terasa udah panjang aja tulisan ini 😀😆. Kalau nulis tentang buku bagus itu memang semangat sih, sampai semuanya ingin ditulis. Hehehhe..

Kesimpulannya, buku Bung di Banda ini sangat saya rekomendasikan untuk siapa pun agar bisa meningkatkan rasa cinta pada tanah air. Buku ini mengajarkan kita, begitu banyak orang yang telah berjuang dan berkorban agar negeri ini dulu bisa bersatu melawan kolonial untuk berhasil memperoleh kemerdekaan. Mereka saja dengan segela keterbatasannya tidak pernah patah semangat, apalagi kita di kondisi semua telah serba mudah ini. Semangat! Merdeka!! 

Selain tentang jejak kebangsaan, ada kisah kasih tak sampai Sutan Sjahrir dengan istrisnya Maria yang membuat pilu. Banyak yang mereka korbankan untuk bisa memperjuangkan bangsa, termasuk pasangan hidupnya. 

Jadi, 4.5 bintang untuk buku Bung di Banda karya Sergius Sutanto




Bung di Banda
Penulis : Sergius Sutanto
Penerbit : Gagasmedia
Cetakan pertama, 2021
ISBN 978-979-780-974-4

Demikian postingan buku bertema sejarah kali ini. Apakah teman-teman punya rekomendasi buku sejenis yang bisa saya baca berikutnya?


12 comments:

  1. Mba Thessa aku juga cinta banget sama Wonderland Indonesia! Merinding banget Mbaaa pas nontonnya huhuhu dan gak bosen sama sekali dengerinnya berulang-ulang juga.

    Btw, ini novelnya menarik banget Mba! Aku emang kurang cocok dengan historical tapi karena tentang yang ada di buku sejarah kayaknya familiar gitu ya. Tapi, ini kan novel Mba, apa emang berdasarkan kejadian sesungguhnya atau cuma fiksi ya? Soalnya pas baca blurbnya langsung kepikiran jangan Sjahrir disini itu Sutan Sjahrir lah ternyata bener wkwkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang sebagu situu yaa.. Lagunya, musiknya dan video klipnya kereeen!

      Menarik mbaa. Aku yg bukan pecinta sejarah aja mendadak pengen tau lbh banyak tntng sejarah abis baca buku ini. hehehe.. Ini mayoritas kisah nyata, tp dibungkus dalam bentuk novel dg bbrapa percakapan yg direka gt. Tp rentetan kejadiannya semuanya diambil asli dr Sutan Sjahrir dan Bung Hatta waktu diasingkan di Banda.

      Delete
  2. Oooh jadi Sergius Sutanto ini penulis sejarah tapi dibalut dalam bentuk novel gitu ya mba Thessa. Pas baca keterangan kalau ada sebagian disesuaikan untuk kepentingan jalan cerita, aku jadi inget sama film Guru Bangsa Tjokroaminoto. Kebetulan nih beberapa waktu akhi-akhir ini aku nonton film-film yang temanya tentang diskriminasi, rasis, dan penjuangan melawan penjajahan. Jadi relate sama yang mba Thessa tulis. Ternyata sama lho dengan apa yang ada di film Bumi Manusia, sumpah sih sedih banget lihat nasib-nasib pribumi zaman dahulu huhuhu.

    Iya mba sama kok pelajaran sejarah pas sekolah dulu ngebosenin kalau bahas sejarah tanah air, soalnya banyakan hafalannya. Aku baru tertarik sejarah tanah air itu pas udah selesai kuliah, karena ada waktu buat mencerna segala macam peristiwa yang terjadi, nggak sekadar hafalan wkwkwkwkw.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener Mba Endah. Buku-buku Sergius Sutanto ini membungkus sejarah jd lbh asik dibaca menurutku. Wah, film Tjokroaminoto ya? Aku blm nonton.. Di buku Bung di Banda ini, ada Dr Tjipto Mangunkusumo yg ikut diasingkan di situ hampir 10 tahun, karena dianggap berpengaruh besar pada pergerakan, sama kaya Belanda takut sama Tjokroaminoto ini..

      Iya bener, ternyata kondisi rasis dulu di masa penjajahan itu luar biasa bgd. Dan parahnya aku baru tahu detail2 kaya gini skrng2 ini.
      Soalny klo dulu, pas sejarah cuma disuruh ngapal2in event2nya aja. Sama kaya kata Mba Endah, cuma sekedar hapalan aja dulu kaaann.. >.<

      Semoga dg makin banyak buku dan film2 mengangkat sejarah ini, makin banyak lg yg bisa memahami sejarah yaa...

      Delete
  3. Memang pelajaran sejarah ya begitu mbak, ditulis secara urutan kejadian dan dihafalkan. Memang kesannya kaku jadinya bagi yang tidak suka sejarah ya cukup sulit juga agar senang.

    Mungkin harusnya dibikin seperti novel ya.😄

    Kalo bung Hatta dan Sutan Sjahrir cukup banyak disebut dalam buku sejarah, begitu juga Dokter Sutjipto Mangunkusumo, tapi kalo Soemantri baru tahu. Duh ketahuan kurang sejarah.

    Enak kalo baca sejarah seperti Bung di Banda ini ya mbak, kita jadi tahu sejarah Indonesia sebelum merdeka.😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener Mas agus, sebatas dihapalin aja. Aku inget dulu ngapalin Dr Tjipto sebagai salah satu 3 serangkai sama Douwes Deker dan Ki Hajar Dewantara. Tp baru dibuku ini aku tau gimana sebenerny pergerakan yg dimaksud. Hehehe.. Bener Mas Agus, baca sejarah dibungkus dg cerita kaya gini bisa bikin kita tau sejarah dg cara yg menyenangkan. 😁
      Klo Iwa Soemantri memang lbh dikenal sebagai politikus n pejuang hak2 buruh gt Mas Agus. Makanya ga terlalu banyak di buku sejarah pas sekolah kali ya 😁

      Delete
  4. Menarik banget Mba Thess.. aku juga sama kaya Mba Thess.. paling anti sama pelajaran Sejarah 😁. Bahkan kalau besok ulangan sejarah pusingnya pas belajar bisa ngalahin pusingnya pas besok mau ulangan matematika 😄..

    Nggak cocok aku tuh sama sejarah karena pelajarannya emang seSusah itu.

    Tapi ini beda.. aku baca review Mba Thess aja bikin aku makin penasaran. Dan sama juga dong. Aku juga baru Tahu kalau Sutan Sjahrir jugaa diasingkan dulu, dan baru tahu juga kalau diasingkan dulu ternyata sistemnya kaya gitu ya.. aku pikir dikurung berhari2 nggak dikasih makan. Ini ternyata dikasih Santunan biaya hidup.

    Aku tulis judulnya di buku.. siapa tahu ntar mau ceki2 buat beli. Sekalian ngumpulin buku. Buat koleksi. 😁😅 OTW mini Library.

    Btw, soal video YT Wonderland Indonesia emang sebagus ituuu 😍.. haha. Aku smpe berkaca2 nontonnya. Suara Novia juga duhh bagus pisan euyy..

    Agustus kemarin jadi Bulan yang lumayan Hectic sih mba.. haha. Tapi tetap ada yang seruuu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Samaaa bangeet Mas Bayuu... Aku bawaannya deg2an gt pas mau ujian sejarah, saking susahnya. Mana aku kan susah bgd ya sama pelajaran hapakan. Beda sama pas ujian matematika. Bisa lebih tenang pas ujian matematika. Hehehe..

      Toss duluuu, sama baru tau kita klo diasingkan jaman Belanda ternyata gt. Ada cerita dikit, aku bilang sama suami kan, eh dia dg santainya bilang, memang gitu jaman Beladan dan dia cerita panjang lebar kaya yg aku baca di buku ini (padahal dia ga ikut baca buku ini). Ternyata dia tau banyak, karena dulu dia suka sama sejarah. Hehehe.. Aku cuma bisa terbengong pas dia cerita.

      Asik, mini library 😍 Semoga koleksinya makin bertambah banyaak ya Mas Bayuuu..

      Walaupun hactic, yg penting ttp seru yaa. Semoga mas bayu di bulan ini juga makin seruu yaaa... :D

      Delete
  5. Dulu pernah baca cerita di Banda ini dari sudut pandang dengan fokus pada Bung Hatta. Yah, memang buku biografi beliau, sih, ya... Hehehe.

    Untuk Sutan Sjahrir sendiri, cuma tau dari buku sejarah. Belum pernah baca biografinya. Tapi, seru juga ya kalau biografi dibikin jadi novel kayak buku ini. ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bagus ga biografinya Cha? Yg penulisnya siapa?
      Ca kebetulan lagi nyari buku2 Bung Hatta nih. Pas baca ini kagum banget sama Bung Hatta n pengen baca buku2nya. Ada sih yg ditulis Sergiues Sutanto juga, novelisasi kisah Bung Hatta. Sekarang baru mulai baca..
      Iyaa, seruu baca kisah hidup pahlawan dalam bentuk novel kayak gini :D

      Delete
  6. Dari dulu aku selalu suka sejarah, tapi memang pelajaran sejarah yg kita dapat di sekolah itu ga menarik sih. Terlalu banyak hapalan yg bikin males. Boro2 bisa diinget. Ingetpun cuma pas ujian. Besoknya lupa lagi.

    Buatku sendiri cara enak belajar sejarah cuma 2, lewat novel begini, ATO lewat museum. Udah itu aja. Sayangnya museum di Indonesia ga terlalu interaktif juga kayak museum2 di Jepang misalnya.

    Aku mau cari buku bung di banda ini mba thess. Tadi iseng cari di ipusnas, tapi yg ada buku 'MANGUN'. Ya udah, langsung aku download dulu :S. Menarik juga kayaknya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya banget Mba Fann, klo hapalan gitu yg ada hanya inget sebelum ujian abis itu menguap. Padahal kejadiannya lebih menarik dari sekedar hapalan angka2 n nama2 orang.

      Museum tergtng museumnya, aku ngebayanginnya klo museum kaya di film night at the museum itu bagus juga kayanya ya mba fan. Hehehhe.. Klo museum di jepang aku belum pernah, belum pernah ke jepang juga. Hhahaa.. Pernahnya ke museum2 di sini dan mnrt aku jg blm tertalu representatif. Lbh asik baca novelnya yaa...

      Belum ada di Ipusnas mba, karena ini baru terbit banget. Klo di Ipusnas biasanya buku2 yg udah agak lama terbitnya. Aku malah nemu yg Hatta karya Sergies Sutanto di Ipusnas, dan kayakny menarik buat dibaca :D Aku makin kagum sama sosok hatta sejak baca buku ini soalnya

      Delete