Sebulan lebih blog ini tidak di-update. Karena saya sedang disibukkan dengan proyek menulis. Jangankan menulis blog, bahkan membaca buku saja saya tidak sempat. Saya akan menceritakan tentang proyek ini di postingan lain nanti. Kali ini saya mau menulis karya seorang sastrawan Indonesia, Sapardi Djoko Damono.
Akhir-akhir ini dunia literasi kembali berduka. Salah seorang penggiat sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono telah berpulang pada tanggal 19 Juli 2020. Seorang sastrawan yang sangat produktif sejak muda, sampai menutup usia di 80 tahun. Semasa hidupnya, ia aktif menjadi redaktur berbagai media, menerbitkan berbagai buku, menulis banyak sekali puisi, dan mengajar di beberapa universitas (guru besar UI dan mengajar di UKJ). Berbagai penghargaan pun banyak diperolehnya, baik dalam maupun luar negri.
Berita duka ini membawa saya kembali kepada buku karya beliau yang saya telah saya beli hampir 5 tahun yang lalu, Novel Hujan Bulan Juni. Buku yang diterbitkan saat beliau berumur 75 tahun. Wah, saya berharap bisa seproduktif itu nanti di usia senja.
Hujan Bulan Juni sudah terbit sebelumnya dalam bentuk puisi pada tahun 1994. Pada tahun 2015, Sapardi membuat novel yang terinspirasi dari puisi itu. Novel menceritakan kisah kasih Sarwono dan Pingkan. Sarwono adalah seorang pemuda Jawa yang menjadi dosen di UI. Pingkan adalah adik teman masa kecil Sarwono, juga dosen di tempat yang sama.
Konflik utama yang diangkat sebenarnya tidak banyak, intinya tentang Pingkan yang beda agama dengan Sarwono. Ada juga konflik lain tentang orang ketiga, tetapi menurut saya itu tidak terlalu berarti karena kuatnya cinta mereka berdua.
Hujan Bulan Juni sudah terbit sebelumnya dalam bentuk puisi pada tahun 1994. Pada tahun 2015, Sapardi membuat novel yang terinspirasi dari puisi itu. Novel menceritakan kisah kasih Sarwono dan Pingkan. Sarwono adalah seorang pemuda Jawa yang menjadi dosen di UI. Pingkan adalah adik teman masa kecil Sarwono, juga dosen di tempat yang sama.
Konflik utama yang diangkat sebenarnya tidak banyak, intinya tentang Pingkan yang beda agama dengan Sarwono. Ada juga konflik lain tentang orang ketiga, tetapi menurut saya itu tidak terlalu berarti karena kuatnya cinta mereka berdua.
Konflik yang mungkin tidak banyak itu berhasil diramu menjadi cerita yang cukup panjang karena diselingi pemikiran-pemikiran tokoh yang puitis, penuh perumpamaan. Beberapa bagian bahkan saya tidak mengerti maknanya. Memang mungkin karena selama ini bacaan saya hanya dangkal-dangkal saja 😅 Selain itu juga banyak puisi-puisi karya Sapardi yang diselipkan di ceritanya. Buku tipe ini sebenarnya di luar zona nyaman saya, apalagi dari dulu saya tidak pernah bisa memahami puisi. Tapi ternyata, saya sangat menikmati membaca buku ini. Saya kagum bagaimana eyang bisa meramu cerita sederhana menjadi begitu kaya dan penuh selipan yang bisa menjadi bahan renungan.
Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri.
Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.
Bagaimana mungkin. -halaman 66
Ending buku ini agak menggantung, karena memang buku ini sebenarnya adalah buku pertama dalam trilogi. Buku kedua berjudul Pingkan Melipat Jarak dan buku terakhir berjudul Yang Fana Adalah Waktu.
Hujan Bulan Juni juga sudah difilmkan pada tahun 2017 yang dibintangi oleh Velove Vexia (sebagai Pingkan) dan Adipati Dolken (sebagai Sarwono). Kurang lebih seperti bukunya, alur film terasa lambat. Durasinya pun cukup panjang, 1,5jam. Mungkin buat kamu yang suka film menantang tidak terlalu cocok dengan film ini. Sedangkan buat kamu yang suka hal romantis, pasti suka dengan film ini. Adipati pun melantunkan puisi karya Eyang Sapardi dengan sangat manis.
Hujan Bulan Juni juga sudah difilmkan pada tahun 2017 yang dibintangi oleh Velove Vexia (sebagai Pingkan) dan Adipati Dolken (sebagai Sarwono). Kurang lebih seperti bukunya, alur film terasa lambat. Durasinya pun cukup panjang, 1,5jam. Mungkin buat kamu yang suka film menantang tidak terlalu cocok dengan film ini. Sedangkan buat kamu yang suka hal romantis, pasti suka dengan film ini. Adipati pun melantunkan puisi karya Eyang Sapardi dengan sangat manis.
Untuk jalan cerita, terdapat beberapa perbedaan antara buku dan film. Di film konflik orang ketiga lebih ditonjolkan, seperti dengan Toar dan Katsuyo. Selai itu yang saya suka di filmnya adalah tempat-tempat indah di Manado, Gorontalo dan Jepang ditampilkan sangat cantik di scene nya.
Bonus video tiktok eyang dengan tim GPU 😁
Sumber foto :
Hujan Bulan JuniPada rintik bulan Juni, Sarwono terbaring tak berdaya. Pada bulan Juli, Sapardi Djoko Damono terbaring untuk selamanya. Terima kasih Eyang, sudah mewarnai jagat sastra Indonesia dengan indah.
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Bonus video tiktok eyang dengan tim GPU 😁
Sumber foto :
Foto Sapardi Djoko Damono dari ig, edited by me.
Foto buku koleksi pribadi
Foto film dari imdb
Finally mba Thessa update blog 😁
ReplyDeleteLagi sibuk banget pasti ya mba hehe. Semoga lancar proyek menulisnya 😍 by the way, saya sempat baca berita mengenai kepulangan Pak Sapardi which is langsung mengingatkan saya pada puisi 'sederhana' yang fenomenal 🙈
Semoga Pak Sapardi tenang di sisi-Nya 💕
Entah beneran sibuk, atau memang saya yg ga bisa ngatur waktu nih Mba Eno. Hehehe..Makasi banyaak ya Mba Enoo 😍😍 Your support realy mean much for me 💖💖
Delete"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..."
Wuaa saya yg ngerti puisi aja juga suka bangeet sama tema sederhana Eyang di puisi itu mba 😍😍
Hai kak Thessa! Pantes udah lama nggak lihat post kakak, ternyata sedang sibuk sebuah project ya. Semoga projectnya bisa berjalan lancar dan sukses ya kak :D
ReplyDeleteAbis baca post ini, aku langsung melipir ke Gramedia digital dan ternyata ada buku ini, langsung mau baca ah berhubung sedikit halamannya. Aku belum pernah baca karya Eyang tapi aku sering dengar namanya berseliweran. Terima kasih atas post ini kak.
Rest in peace, Eyang Sapardi <3
Makasii ya Liaa. Amiin doakan yaa 😍😍
DeleteAyo baca, hehehe.. Memang cuma 100an halaman kok, tapi aku tetep aja bacanya lama loh.😂 Kayaknya karena kata2nya penuh perumpamaan, jadi aku butuh perenungan buat memahaminya.. 😁
Amiinn!! Sukses dan lancar ya kak 😍🙏🏻
DeleteAh iya ya! Aku baru baca halaman-halaman awal nih dan sejauh ini masih aman, nggak tahu nanti huahaha.
Lanjuutkaan Liaa.. Ntr kalau udah beres baca sharing pendapat kamu yaa 😁
DeleteMasya Allah, welcome back mbak Thessa. Sukses ya sama novel dan another projectnya, semoga bisa nular ke aku, hehe..
ReplyDeleteHujan bulan Juni memang lebih asyik baca bukunya deh, tapi aku belum baca lanjutannya, hihi..
Wuaa makasiii ya Mba 😊 btw, salam kenal..
DeleteAku juga belum baca lanjutannya. Hehehe.. Tapi udah baca spoilernya, soalnya penasaran ending Sarwono dan Pingkan 😁
saya nonton filmnya dong, dan baca ini baru ingat saya mau ngereview filmnya :D
ReplyDeleteMeski jujur, saya agak ngantuk nontonnya, agak datar, hanya penuh dengan puisi sih.
Dan yang menghibur karena saya lahir di Sulawesi Utara, jadi familier dengan bahasanya atau logatnya dan ngakak juga dengarnya.
Ayo Mba Rey, tulis review filmnya.. 😁 Kalau aku nontonny, bosen ga, kagum juga ga. Jadi biasa aja gitu.. hehehe..
DeleteIya, apalagi pas ngumpul keluarga besarnya ya. Keluar semua bahasa sananya 😁
Nah soalnya udah baca bukunya duluan ya? kadang memang kalau udah baca bukunya, ekspektasi kita terhadap film jadi lebih besar.
DeleteSaya pernah tuh nonton My Stupid Boss, sebelumnya udah baca bukunya, ternyata filmnya agak beda juga ama bukunya, jujur filmnya ngebosenin dibandingkan bukunya hahahaah
Nah iya, kayaknya krna udah baca bukunya duluan deh. Hehehe..
DeleteSaya malah belum pernah baca ayau nonton My stupid Boss. Liat thriller filmnya trus ga tertarik. Pdhal bukunya lebih bagus ya Mba rey..
Nanti saya mo nonton filmnya ah Mba, penasaran 😂😁
ReplyDeleteSaya mengenal Nama Sapardi Djoko Damono ini pertama kali di sosmed Mba, karena ada beberapa ABG yang posting puisi yang Mba Eno sebutin itu. Sumpah saya kira itu puisi-puisinya para abege, saya jadi kurang respek, karena ada beberapa abege yang meniru gaya bahasanya. Baru setahun belakangan saya tau kalo puisi itu karyanya beliau "kemana aja saya ini" 😂
Nonton Mba Riniii.. hehehe.. Udah agak lama sih, film 2017.
DeleteSaya juga kagum sih, dg umur segitu Eyang tetap puitis ala anak muda.. Kereen! Malah sampai dikira anak abege ya Mba Rini. 😂
Sbnrnya aku suka baca sastra dari penulis2 senior. Tapi kebanyakan dalam bentuk cerita , seperti karangan marah Rusli, nh dini, Pramoedya dll, bukan puisi. Jujur, aku juga susah mba menangkap inti dari puisi :D. Kadang suka bingung sendiri ini maknanya apa -_- .
ReplyDeleteTadi aku iseng cari buku2 pak Sapardi di Ipusnas, dan ternyata ad. Tp sayang semuanya masih queue. Jd aku hrs antri untuk bisa baca. :) . Aku coba baca pelan2, supaya bisa nangkep maksudnya ..
Aku juga suka NH Dini dan Pramoedy. Kalau Marah rusli saya belum pernah Mba Fenny. 😁
DeleteIya ada mba di Ipusnas, tapi kayaknya banyak yg penasaran dengan karya beliau, jd antri ya Mba.. aku pun bacanya pelaan, padahal bukunya tipis 😅