Ada yang tahu buku Marie Kondo yang berjudul The Life Changing Magic of Tyding Up? Saat orang-orang di media sosial sudah ramai memperbincangkan buku Marie Kondo tentang bagaimana cara berbenah dan menyingkirkan barang-barang yang tidak lagi sparks joy, saya sama sekali tidak berniat membaca karena saya takut ditampar bolak balik. Takut membaca penjelasan yang menggambarkan betapa salahnya gaya hidup penimbun yang saya lakukan selama ini. Sampai saat ini saya bahkan juga tidak berani sekedar menonton video tip berbenah dari Marie Kondo. Selain buku Marie Kondo, terdapat salah satu buku lagi yang selalu masuk dalam rekomendasi orang-orang dalam berbenah, yaitu buku Goodbye Things, Hidup Minimalis Ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki. Berbekal rasa penasaran, dan pikiran mungkin buku ini tidak seekstrim Marie Kondo, maka saya mengetikkan judul buku ini di Ipusnas dan mulai membaca.
Oiya, sebelumya saya melanjutkan, saya ingatkan dulu kalau postingan kali ini akan cukup panjang. Karena saya akan menceritakan tidak hanya tentang buku ini, tetapi juga bagaimana efeknya pada kehidupan saya beserta pengalaman pribadi saya berdasarkan kiat dari buku ini.
Goodbye Things, Hidup Minimalis Ala Orang Jepang ditulis oleh orang Jepang bernama Fumio Sasaki. Fumio Sasaki adalah seorang penulis tiga puluh tahunan yang tinggal di apartemen kecil di Tokyo dengan tiga kemeja, empat celana panjang, empat pasang kaus kaki dan sedikit benda lainnya. Sedangkan saya, juga berumur tiga puluhan. Datang menempati rumah saya yang sekarang 7 tahun yang lalu hanya dengan beberapa koper, dan sekarang saya mempunyai satu ruangan di rumah yang saya fungsikan menjadi gudang berukuran kurang lebih 12 meter persegi. Ruangan itu entah kenapa semakin hari semakin penuh. Padahal saya sudah pasang rak sampai ke langit-langit agar box-box penyimpanan bisa disimpan sampai atas. Kondisinya sekarang, saya bahkan kesulitan berjalan di gudang itu saking penuh sesaknya. Mengapa barang-barang di gudang saya cepat sekali beranak pinak? Karena saya kesulitan untuk membuang barang-barang. Pernah pada suatu kondisi, saya bahkan tidak membuang botol-botol bekas sampo, atau botol-botol minuman berukuran besar. Semua dengan alasan "Siapa tau suatu saat butuh". Jadi gaya hidup saya yang hoarder (penimbun) bertolak belakang dengan penulis buku ini.
Ketakutan pertama saya untuk membaca buku ini adalah kekhawatiran apabila buku ini akan membuat saya berubah dari gaya hidup yang saya jalani selama ini. Apalagi sebenarnya saya sudah nyaman dengan kondisi sekarang dengan dikelilingi benda-benda. I worried this book will change me to someone else. Tetapi semakin dalam saya membaca buku ini, semakin saya menyadari, yang ingin disampaikan penulis bukanlah tentang bagaimana kita mengurangi barang sampai sangat minimal mungkin. Tetapi yang disampaikan Fumio Sasaki lebih ke gaya hidup agar kita tidak fokus hal-hal yang tidak bermakna dan fokus pada hal yang lebih besar. Saya pun pelan-pelan menyadari, berubah itu tidak masalah kok, apalagi berubah menjadi yang lebih baik.
Mempertahankan benda-benda lampau sama saja dengan mempertahankan sosok diri kita di masa lalu. Jika ingin, meski sedikit saja, mengubah diri, saran saya adalah Anda harus berani dan merelakan banyak hal dari hidup. Biarkan hal-hal yang betul-betul dibutuhkan yang tetap tinggal, dan melangkah maju mulai saat ini. - hal 75Saat kita berfokus pada barang, kita jadi menghabiskan waktu untuk hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan. Misalnya kita akan menghabiskan waktu untuk membersihkan dan menatanya, termasuk waktu untuk mendapatkan benda itu (belanja, antri dan lain-lain). Jangan lupa juga tempat yang digunakan untuk menyimpan benda tersebut. Selain itu pikiran kita juga akan dipengaruhi benda itu seperti kita jadi membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang mempunyai benda sama tetapi lebih banyak atau lebih mahal.
Sama seperti penumpukan benda, membandingkan diri sendiri dengan orang lain adalah kegiatan yang tidak ada habisnya - hal 163Pada buku ini terdapat 55 Kiat Berpisah dengan Barang plus 15 Kiat Tambahan untuk Tahap Selanjutnya dalam Perjalanan Menuju Minimalisme. Walaupun saya belum sepenuhnya berniat untuk mengaplikasikan kiat hidup minimalis ala orang Jepang yang disampaikan Fumio Sasaki, ada banyak kiat yang dapat langsung saya praktekkan sebagai seorang hoarder, seperti :
1. Buang jauh-jauh pikiran bahwa kita tidak mampu membuang barang.
Kadang saya terlalu melebeli diri "orang yang susah membuang barang". Sampai akhirnya waktu itu saya pernah menonton acara reality show Hoarders di Youtube, acara tentang orang dengan Hoarders Disorder yang menimbum banyak barang di rumahnya. (Cobalah ketikkan keyword Hoarders Reality Show di Google, pasti gambar yang akan kalian temukan akan sangat disturbing). Di situ saya mulai khawatir apa jadinya kalau saya berakhir seperti mereka. Akhirnya saya mencoba membuang jauh-jauh label yang saya sematkan sendiri di pikiran saya. Dan ini juga merupakan kiat yang pertama yang disampaikan Fumio Sasaki di buku ini, "Buang jauh-jauh pikiran bahwa kita tidak mampu membuang barang"
2. Buang barang yang jelas-jelas sampah.
Pernahkah kamu menyimpan botol-botol kemasan? Kotak mika bekas makanan take away? I did 🙈 Beberapa waktu yang lalu saya merasa rak piring semakin sempit, dan box penyimpanan pecah belah semua sudah kepenuhan. Akhirnya saya mencoba menyortir barang-barang dan saya berhasil mengeluarkan sampai 3 plastik ukuran besar barang yang jelas-jelas sampah seperti kotak mika makanan take away, botol minum yang sudah retak tapi masih disimpan, toples bekas cemilan, botol bekas selai dan beberapa barang lainnya. Saya tidak akan mengambil jalan ekstrim dengan mengurangi semua peralatan makan menjadi hanya beberapa saja, jadi saya akan memulai dari benda-benda yang memang sampah. Saya akan berproses. Bahkan Fumio Sasaki pun mengakui, butuh 5 tahun untuk dia berproses sampai seminimalis sekarang. Sesuatu, bahkan berbenah pun butuh proses dan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Saya seriiing sekali berpikir seperti ini.
"Kelak kalau dibutuhkan gimana?"
"Kelak kalau berat badan turun dan baju ini jadi muat gimana?" Padahl sudah jelas-jelas baju itu sudh lama tidak tersentuh.
"Kelak kalau saya butuh buble wrap ini buat kirim paket gimana?" Padahal itu buble wrap bekas pembungkus paket yang saya terima, tersimpan lama di gudang dan tidak terpakai.
Nah menurut Sasaki, pikiran ini harus dibuang jauh, berhenti berpikir kelak. Kalau sekarang memang sudah tidak dibutuhkan, besar kumungkinan kita memang sudah tidak lagi membutuhkan benda itu di masa akan datang. Tapi kalau memang suatu saat butuh gimana? Kata Sasaki gampang, tinggal beli lagi 😅 Apalagi dengan tekonologi seperti sekarang, banyak yang bisa dapatkan secara online kan...
4. Singkirkan barang yang sampai setahun lebih tidak digunakan.
Menyambung tips sebelumnya, kalau kita sudah tidak menggunakan barang itu sampai setahun sebelumnya bisa jadi memang kita tidak membutuhkannya. Misalnya kita masih menyimpan baju yang kelak akan kita gunakan, padahal sudah jelas-jelas baju itu berdiam di pojok lemari sudah bertahun-tahun. Peralatan makan yang kita simpan banyak padahal kita tidak pernah menggunakannya, dan banyak benda lainnya. Di waktu luang nanti (entah kapan 😅), saya berencana mensortir tidak hanya gudang, tetapi juga walking closet yang sudah mulai penuh dengan baju-baju, tas, pernak pernik. Sebagian diantaranya bahkan ada yang sudah setahun lebih tidak saya gunakan.
5. Tidak perlu mencoba-coba cara kreatif saat akan membuang barang
Inilah yang terjadi pada saya setiap akan membuang barang.
Kertas bungkus kado sebelum dibuang, "kayaknya bagus kalau digunting-gunting bisa jadi pembatas buku"
Box karton akan dibuang, "kayaknya bagus bisa bikin rumah-rumahan untuk main sama anak-anak"
Tempat minum yang udah retak, "kayaknya bisa nih dibikin pot"
Sterofom akan dibuang, "kayanya bagus buat main salju-saljuan di mainan Shopkins anak-anak".
Dan sebagian besar dari barang itu tetap tersimpan di gudang tanpa saya sentuh. Begitu ada waktu luang saya akan mengeluarkan benda-benda itu dan segera membuangnya. Wish me luck 😁
6. Tidak ada satu barangpun yang akan membuat kita menyesal setelah kita membuangnya.
Saya belum pernah mencoba tips ini untuk barang koleksi saya ya, saya baru melakukan ini untuk barang yang dianggap sampah. Pernah suatu ketika waktu orang tua saya datang berkunjung. Papa saya yang neat freak mulai membuang barang-barang "sampah" yang saya kumpulkan. Segala macam botol bekas semua pindah ke tempat sampah tanpa sepengetahuan saya. Ketika saya sadar barang-barang itu sudah tidak ada, saya juga sebenarnya tidak apa-apa. Tidak merasa kehilangan juga. Jadi ternyata benar juga kata Sasaki, tidak ada satu barang pun yang akan membuat kita menyesal setelah kita membuangnya
7. Tidak perlu membeli karena murah, tidak perlu mengambil karena gratis
Pernahkah kalian ketika menginap di hotel, kemudian saat akan check out mengambil toiletries yang di sediakan karena itu gratis? Tetapi kemudian di rumah benda itu tidak digunakan dan hanya menumpuk di pojokan. Selain itu saya juga setuju sekali bahwa kita tidak perlu tergiur dengan harga yang murah. Saya beberapa kali membeli barang yang sebenarnya tidak butuh hanya karena sedang diskon dan merasa memperoleh keuntungan dengan membelinya. Padahal bukan keutnungan, tetap saja saya harus mengeluarkan biaya untuk membeli, dan belum lagi perawatannya kan. Nah ini nyambung dengan kiat selanjutnya yaitu :
8. Jika jawabannya bukan sangat butuh, katakan tidak
9. Kurangi barang-barang kembar
Barang kembar itu bisa banyak hal. Sasaki mencontohkan ATM yang tidak perlu banyak karena akan membuat kita menjadi harus memngingat beberap pin dan menyimpan buku tabungan dan lain-lain. (ingat untuk fokus mengingat ke hal yang lebih bermakna, bukan hal yang tidak bermanfaat). Saya sendiri sebenarnya belum mengaplikasikan ini, tetapi mungkin nanti saya akan mengurangi barang-barang kembar seperti sprei atau karpet.
10. Tidak perlu memikirkan nilai uang yang dikeluarkan yang sudah dibelanjakan
Nah kalau tips ini sudah cukup lama saya praktekkan. Apalagi bagi teman-teman yang di keuangan tau donk setiap benda memiliki nilai penyusutan atau depresiasi. Setiap benda akan berkurang nilainya seiring dengan waktu. Jadi apabila memang sudah waktunya menyingkirkan barang dengan tips di atas, saya jarang memikirkan nilai beli barang sebelumnya.
11. Bersuyukurlah
Kebiasan membeli barang kadang membuat kita lupa bersyurukur akan apa yang kita punya. Semakin kita tidak bersyukur, semakin kita merasa kekurangan dan membeli barang lagi untuk mengisi perasaan kekurangan itu. Jangan sampai ini terjadi ya, jadilah orang yang bersyukur atas apapun yang kita mikili. Itu akan mendatangkan kebahagiaan yang tidak terhingga... Di antara semua kiat Sasaki, ini adalah kiat favorit saya. Bisa diaplikasikan baik kamu memilih menjadi minimalis atau tidak.
Di atas adalah beberapa kiat dari sekian banyaaak kiat hidup minimalis dari Sasaki. Adakah kiat yang saya tidak setuju? Tentu saja, bahkan menurut kondisi saya saat ini (tidak tau kalau nanti ya), kiat ini akan sulit sekali diaplikasikan, seperti :
1. Berantas dulu sarangnya, baru hamanya
Ini kiat Sasaki untuk kita memberantas dulu sarang di dalam rumah, alias gudang. Kalau kita tidak punya gudang, maka kita tidak akan menyimpan barang berlebihan. Seperti saya ceritakan di atas, saya mempunyai gudang yang penuh sesak. Saya tidak dapat bayangkan rumah tanpa gudang buat yang punya 3 anak kecil seperti saya. Gudang adalah tempat saya menyimpan box mainan anak-anak dimana hanya boleh keluar satu box setiap main. Mau buka box yang lain, box sebelumnya harus masuk gudang dulu. Gudang juga tempat saya menyimpan baju kakak yang sudah kesempitan tapi masih terlalu besar untuk adik. Gudang juga tempat saya menyimpan peralatan mpasi si kakak untuk nanti digunakan kalau si bungsu sudah mulai Mpasi. Jadi gudang buat saya sangat diperlukan, beda hal mungkin dengan Sasaki yang memang lajang. Gudang bagi saya adalah kunci untuk menjaga rumah dengan 3 anak kecil agar tetap rapi dan tidak berantakan.
2. Rumah bukan museum, jadi tidak perlu benda koleksi
Saya tidak dapat membayangkan rumah tanpa koleksi buku saya. Huhu.. Koleksi benda receh lain mungkin bisa direlakan, tapi koleksi buku? Saat ini saya belum bisa merelakannya. Sasaki dulu memiliki banyak buku-buku yang ia kumpulkan dan sebagian besar belum dibaca (kelak akan dibaca) . Bahkan lantai apartemennya penuh sesak dengan buku. Sasaki bahkan sudah mengeluarkan 1 Juta Yen (lebih dari 130 Juta Rupiah) untuk membeli semua koleksi buknya. Sebagian besar buku itu belum dibaca, Sasaki hanya mengumpulkan buku agar dia terlihat sebagi orang yang cerdas dengan miliki buku berbagai genre. Berbeda dengan Sasaki, buku bagi saya memang untuk dibaca. Dan kebahagiaan saat membaca buku dengan cerita bagus membuat saya berasa pindah ke tempat lain yang tidak terbayangkan. Dan tidak pernah terpikir buat saya agar dianggap keren atau pintar dengan semua koleksi buku yang saya punya. Jadi menurut saya, tidak masalah kalau kamu mempunyai benda koleksi selama itu memang memberikan kebahagiaan pribadi, bukan untuk dinilai lebih oleh orang lain.
Ada beberapa hal receh lain sebenarnya yang sulit saya terapkan dari kiat Sasaki, tetapi secara keseluruahn penjelasan Sasaki sangat mudah dimenegerti dan praktikal, mudah diaplikasikan. Asalkan ada niat yang kuat dari dalam diri sendiri untuk berubah. Jadi tentu saja 4 bintang untuk buku Goodbye, Things. Hidup Minimalis Ala Orang Jepang
Setelah membaca keseluruhan buku ini, apakah ketakutan saya terwujud?
Ternyata buku ini tidak semengerikan yang saya bayangkan, tidak seekstrim yang saya kira. Entah bagaimana orang lain menyimpulkan buku ini ya, saya sendiri menyimpulkan buku ini sebenarnya bagaimana transformasi Sasaki menjadi orang yang lebih baik, dan ia memilih cara dengan menyingkirkan barang, goodbye things.
Minimalis adalah upaya memangkas hal-hal yang tidak esensial agar kita bisa sepenuhnya menghargai hal-hal yang memang berharga bagi kita. -hal 16Sebelum menjadi minimalis, Sasaki tinggal di apartemennya yang penuh barang. Apartemen yang penuh sesak dan banyaknya barang bergeletakan membuat ia malas membereskannya. Ia memiliki banyak koleksi, berbagai kamera agar dianggap ahli fotografi padahal banyak kamera itu yang tidak ia sentuh sama sekali. Rak besar buku beserta buku-buknya. Belum lagi elektornik seperti TV, sound system, CD dan banyak lagi. Dari penjelasan Sasaki pada buku ini saya dapatkan kesan bahwa memang barang-barang dimiliki Sasaki agar ia dianggap hebat dan pintar (tau banyak buku, musik dan film). Tetapi Sasaki tidak merasa bahagia dengan hidupnya. Ia bermasalas-masalan, tidur larut malam, tidak membiarkan matahari masuk ke dalam rumah (karena cahaya matahari membuat debu di apartemennya terlihat jelas), bahkan ia sampai mengkonsumsi minuman keras berlebihan.
Nilai diri kita tidak ditentukan oleh seberapa banyak barang yang kita punya. -hal 3
Setelah menyingkirkan barang dan mempraktekan hidup minimalis, Sasaki menjadi pribadi yang lebih baik seperti :
- Lebih bersyukur atas hidup dan apa yang dimilikinya
- Berhenti membanding-bandingkan dan menganggap citra diri berdasarkan barang yang dipakai dan dimiliki
- Rajin berolah raga
- Rajin berberes
- Membeli karena kebutuhan bukan keinginan
Semua tujuan akhir di atas menurut saya bisa banget kita raih tanpa harus menyingkirkan barang sampe seminimal mungkin. Jadi apabila kamu sudah bahagia dan bersyukur dengan pilihan hidup kamu saat ini, rajin melakukan hal yang positif, tetaplah menjadi diri sendiri.
Di mata orang lain, apa yang kita miliki sudah layak. Tapi persepsi kita sendirilah yang bisa menentukannya. Kitalah yang bisa mengubah stimulus. (halaman 40)
Kalau kamu belum bisa menjadi minimalis, setidaknya berhentilah mengumpulkan barang hanya agar kita dilihat memiliki barang tertentu. Hanya agar orang lain dapat menilai kita dari barang yang kita punya. Seperti yang disampaikan Fumio Sasaki sendiri pada buku ini, hidup bukan kompetisi. Kita tidak perlu membandingkan dengan orang lain.
Kalau kamu sudah mempraktekkan minimalis, tidak perlu juga menghakimi orang yang tidak menyingkirkan barang-barangnya. Ingat, tidak perlu berkompetisi bahkan dalam mempraktekkan minimalis. Mungkin saja memang barang itu sangat berarti bagi mereka.
Minimalisme bukanlah tujuan akhir. Minimalisme adalah metode. -hal 235Fumiko Sasaki berubah menjadi lebih baik dengan menyingkirkan hal yang tidak berarti bagi hidupnya, yaitu barang-barang. Goodbye things!
Kalau kamu akan menyingkirkan apa agar menjadi lebih baik?
Judul : Goodbye, Things. Hidup Minimalis Ala Orang Jepang (Bokutachini, Mou Mono Wa Sitsuyou Nai)
Penulis : Fumio Sasaki
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2018 (Ind) 2015 (Jepang)
ISBN : 978-602-03-9840-2
Hi mba Thessa :D
ReplyDeleteBuku ini juga yang membuat saya akhirnya berusaha untuk menjalani pola hidup minimalis :)) ditambah punya pasangan yang hidupnya memang serba minimalis. Hihihi ~ dan sama seperti yang mba Thessa bilang, butuh proses untuk akhirnya bisa pelan-pelan menjalani pola hidup seperti ini :"DD apalagi saya dulunya punya kecenderungan mencari kebahagiaan dari barang, seperti dekorasi rumah dan perintilan jurnal :3 dan setelah baca buku ini, lumayan jadi bisa tahan :))
Semangat untuk kita mba, aplikasikan yang memang cocok saja :> apalagi mba kan bukunya memang betul dibaca, bukan seperti Sasaki yang bukunya cuma dijadikan pajangan ~ hehehe.
Wah Mba Eno udah baca juga ya.. Buku ini memang inspiring buat kita pelan2 menerapkan minimalis dalam hidup.
DeleteTapi itu tetap tergantung dengan pribadi masing2. Aku setuju banget sama Mba Eno, kita aplikasikan apa yabg cocok menurut kita dan sesaui dg hati nurani masing2. Yang penting tetap bahagia 😊
Saya belum baca bukunya mbak, tapi sepertinya menarik juga ya tips tips dari Sasaki agar kita jadi lebih minimalis dalam mengelola barang.
ReplyDeleteSaya tidak punya gudang khusus untuk menyimpan barang sih, tapi kadang memang ada barang yang sayang dibuang karena nilai kenangannya, misalnya foto anak saat kecil dulu lalu dibingkai, sepeda anak saat umur tiga tahun juga masih ada dan tidak terpakai. Sebenarnya saya mau jual tapi lakunya cuma 15 ribu di tukang loak padahal masih bagus. Nunggu ada yang beli lebih mahal lagi baru jual.😂
Kata-katanya Mas Agus ini mirip dengan jawaban tetangga saya 😂 tapi sepeda anaknya cuma laku 10 ribu, jadi di gantungnya aja di dinding rumah, nunggu ada tetangga yg anaknya pengen sepeda tapi gak mampu beli baru, karena harganya lebih tinggi daripada tukang loak 😂
DeleteIya Mas Agus, menarik memang tips dari Sasaki. Tetapi kadang kita sendiri belum siap untuk menerapkan semua itu, apalagi aku 😅
DeleteWah lucu juga ya Mas Agus, Mba Rini, sepeda cuma dihargain belasan ribu. Lebih mahal semangkok bakso malah ya. Hehehe.. Lebih baik disimpan siapa tau nanti kelak kepake adiknya kalau nanti mau nambah anak kan 🤣
Saya juga sempet baca di timeline pesbuk ini mba, tentang mereka yang menerapkan sistem hidup minimalis dari maria kondo ini.
ReplyDeleteKalo buat mereka yang punya banyak barang pastinya berat ya mba. Tapi kalo saya, menimbun barang bukan karena saya produktif belanja ini itu, tapi lebih karena ngerasa gak enak menolak pemberian. Sumbernya dari ipar-ipar yg konsumtif, hingga barang2 di rumahnya kepenuhan, tapi pengen lemarinya kosong biar bisa diisi baju baru, kursi baru, lemari baru.
Karena ngeliat peluang rumah kami yg emang saya biarkan seadanya (karena emang gak mampu beli2 juga sebenernya)😂 jadilah mereka2 yang sayang barang (meskipun beberapa gak layak pakai) mentransfernya ke rumah kami, dengan embel-embel "buang aja barang yang udah rusak ato di pilih pilih lagi yang mana yang masih bisa dipake, kalo udah rusak buang aja)
Nah, masalahnya. Iya mereka punya duit buat biaya mindahin barang2nya kesini, tapi itu malah jadi peer buat kami, karena setelah memilah bnyk barang yg tidak bisa dipakai lagi, dan kami tidak punya biaya buat mentransfernya (lemari2 dan meja lapuk) ke tukang sampah (mobil sampah gak bisa masuk dan sulit nyari tukang sampah disini) hingga akhirnya kami telantarkan begitu saja di halaman belakang dan bertumpuk jadi semacam gudang terbuka, mirip penampungan barang bekas 😅
Sama Mba, aku aku juga awalnya tau minimalis ini dari sosmed dan postingan teman2. Apalagi mereka juga sekaligus membagikan kondisi hasil berbenah mereka setelah menerapkan tips dari Marie Kondo.
DeleteWah kok aku jadi greget ya sama ipar2 nya Mba Rini 😅 Kayaknya mereka perlu disuruh baca buku ini biar pada ngeh dan ga menumpuk barang deh mba.
Aku juga pernah di kondisi Mba rini, dan akhirnya aku malah repot sendiri karena ga enak nolaknya. Sekarang setiap aku mau kasi sesuatu yg aku ga pake ke oramg lain, aku suruh mereka pilih mana yg kepake. Kalau ada yg mereka ga mau adopsi, aku akan ambil dan singkirkan sendiri. Jadi ga saling merepotkan 💖
Saya pernah menonton tv channel luar yang berjudul "Hoarder".
ReplyDeleteDi acara tsb penimbun barang rata-rata orang yang sudah lanjut usia ada juga yang maaih muda tapi kebanyakan manula.
Di acara tsb sampai didatangkan psikolog bahkan psikiater untuk berdialog dengan hoarder untuk mengetahui penyebab mengapa mereka sampai jadi penimbun barang.
Rata-rata karena tidak ingin membuang kenangan atas barang-barang tsb.
Ada yang karena faktor anaknya meninggal kemudian sedih dan ada yang karena faktor bercerai terus hidup sendirian dan kesepian. Dan mereka mengisi kekosongan hatiya dengan menimbun barang sebanyak-banyaknya selama bertahun tahun sampai rumahnya nggak bisa dibuat tempat berjalan.
Setelah para hoarder berkonsultasi dengan psikolog ada yang mau mengurangi barang timbunannya dan ada yang kekeuh tetap nggak mau mengurangi barangnya untuk dijual dan diamalkan.
Kalau saya nggak punya gudang sich tapi di kamar tetapnmasih ada printilan-printilan yang belum saya sorir untuk diamalkan atau dibuang. Nanti akan saya sortir biar nggak penuh.hehehe..
Wah pernah nonton acara Hoarders juga ya mba? Parah2 banget ya di acara itu. Makanya aku takut suatu saat ntr berakhir kaya gitu. Jadi Aku mau belajar untuk pelan2 meminimalisr barang.
DeleteNah perintilan itu biasanya yg repot ngesortirnya karena ada banyak dan kecil2 kan.. semangat mba berbenahnya 😊
Halo Mbak Thessa, terima kasih untuk sharingnya.
ReplyDeleteDari 11 poin yang Mbak tulis di atas, ada beberapa yang sudah saya pikir sejak lama tapi memang sulit diterapkan. Apalagi setelah menikah, pertimbangan istri juga harus diperhatikan.
Saya termasuk orang yang 'tegaan' untuk membuang barang yang sudah lama tak terpakai, tapi istri yang lebih sering merasa sayang dan mungkin masih dibutuhkan di lain waktu. Akhirnya, beberapa barang tersimpan di dalam kontainer dalam waktu yang sudah cukup lama.
Halo Mas agung..
DeleteWah bagus itu kalau bisa tegaan mba, kalau menurut Sasaki memang harusnya seperti itu. Mungkin itu bisa ditularkan juga pelan2 ke sang istri. Asal jangan semua tiba2 disingkirkan, ntr istri mau masak bingung wajan oada kemana karena udah disingkir2in 😁 hehehhe..
Laki2 memang cenderung lebih minimalis dr wanita ya. Mungkin juga karena mereka lebih rasional dibanding wanita (yg lebih mementingkan perasaan) 😁
Bukan kebetulan sih prinsipku kayak orang Jepang yang sukanya bergaya hidup minimalis, maunya praktis dan simpel saja punya sedikit barang.
ReplyDeleteKarena memang kupikir buat apa ya punya banyak2 barang, ntar yang ada malah boros waktu buat mengurusnya.
Ini banget yang disampaikan Sasaki di bukunya ini Mas, menumpuk barang cuma menghabiskan waktu dan energi, belum lg borosnya. Keres Mas Himawan ternyata udah mempraktekkan hidup minimalis ala orang Jepang ya 😁
DeleteAku belom pernah baca buku fenomenal ini mba thess hihi
ReplyDeletePadahal aku uda merasa hidupku minimalism tapi kok ya barang yang ga kepake banget masih aja keliatan ngejogrok di sudut rumahku
Rasanya aku pingin mengubah mindset kata-kata 'kelak' itu, biar sedikit tega menghempaskan barang yang beneran ga kepake. Soale lama lama sepet ngliat rumahku tambah sesek mbaaaa ahhahahha
Ayo baca mba, menarik bukunya, apalagi kalau Mba Nita memang udah mempraktekkan minimalis 😁
DeleteSama banget kita kalau gt Mba, kelak siapa tau kepake, kelak siapa tau butuh 🤣🤣 Coba deh mulai pilah2 mba, pasti rumah jadi lebih legaaa.. hehehe.. tapi kalau aku yagitu menggumpulkan niatnya aja susah 😅
Waduh berat, selalu ada kata "eman", akhirnya numpuk barang kaya tikus, yang selalu menyimpan apapun yang ditemukannya di sarangnya
ReplyDelete#kitatikusapamanusia
Begitulah mas, makin numpuk trus rumah tau2 jadi berasa makin sempit 😅
DeleteKalau saya sepertinya berangkat dari masa kecil saya, tumbuh besar dalam keluarga sederhana, nggak punya banyak barang.
ReplyDeleteOrtu yang mengajarkan tentang kerapian, itu yang bikin saya nggak suka punya banyak barang.
Dan iyesss, saya lebih sering buang barang, meski masih juga belum setega itu, saya sering berpikir, "kelak" dipakai lagi hahaha.
Contohnya, celana-celana kain yang saya punya bekas saya kerja dulu.
Jujur saya nggak suka pakai celana kain, lebih suka pakai jeans karena pinggul saya lebar hahaha.
Tapi waktu kerja kan nggak pakai seragam dan ga boleh pakai jeans, alhasil punya beberapa potong celana yang sekarang udah jadi IRT pun masih sayang saya buang, dengan pikiran, entar dipakai lagi hahahaha
Memang kalau banyak barang repot sendiri ngerapiinnya ya mba. Huhu..
DeleteMba rey bilang celana kerja saya jd inget Saya jg ada blazer2 awal kerja dulu. Ga terlalu suka pake blazer padahal, tp blm disingkirkan jg dg bertameng dengan 'kelak' hahaha.. 😁 Ayo kita semangat berbenah Mba rey, menyingkirkan barang yg tidak terpakai lg.. 😊
Tas dan sepatu. Kalo ada yg harus aku singkirkan di rumah, itu koleksi tas dan sepatuku :D . Bahkan banyaaaak yg blm aku pakai samasekali -_- . Kmrn itu sempet baca kalo semua barang2 kita ini akan dihisab nantinya, ditanya utk apa. Sejak itu jujurnya aku udh mulai ada keinginan utk bersih2 mba. Tapi ada halangan lagi dari suami.
ReplyDeleteSuami dan keluarganya itu punya kebiasaan ngumpulin barang, apapun bentuknya, dengan alasan mungkin suatu saat kepakai.
Sementara aku, kalo beli baju 3, berarti baju di lemari juga hrs dibuang 3.kami bertolak belakang jadinya.
Sempet yaaa saking sebelnya Ama barang2 dia yg kelewat banyak, diem2 aku buangin. Trus aku tunggu sampe sebulan , bakal sadar ato ga orangnya. Ternyata gaaa dong hahahaha. Itu aja udah bukti dia ga inget Ama brg2 yg dia tumpuk -_-
Tapi jujurnya aku ga bisa seekstrem mari Kondo dan Sasaki ini. Secara anakku juga ada 2 dan msh kecil mba. mainan mereka ada banyak walo udh sebagian aku buang.
Trus sama kayak mba, aku cintaaaaa banget dengan buku. Aku sampe bikin ruang khsus untuk buku2ku. Jadi ga akan mungkin aku buang walo semua buku udah aku baca. Even buku yg isinya ga menarik pun, ttp aku sayang.
Eh aku heran, itu Sasaki bisa yaaa beli buku semahal itu tp hanya utk dianggab pinter :D. Seandainya aku ga suka buku, emoh aja sih ngeluarin ratusan juta hanya utk dianggab begitu :D.
Wah sama ya Mba, secinta itu kita dg buku sampe sama sekali ga terbersit pikiran buat menyingkirkan yaaa.. hehehe..
DeleteAku pun mencoba memulai bertahap banget mba, dr hal kecil kayak kalau ada barang masuk harus ada yg keluar. Apalagi barang2 yg kita tau ga akan kepake lagi..
Buat mainan anak aku belum mulai sama sekali malah. Apalagi ini mainan dr anak sulung masih dimainin adik2nya. Jd nanti ajalah itu nunggu mereka gede 😂😂
Kalau aku sama suami sama2 hoarder Mba. Masih mending mba bisa menyeimbangi suami, lah kalau aku bablas dua2nya 😅
Semangat mba, yg penting happy dan kita mulai bertahap aja. Hehehe..
Sampai sekarang saya masih banyak mikir-mikir kalau mau membuat barang. Secara bertahap, sekarang berusaha mengurangi belanja - beli yang perlu-perlu saja. Lama-kelamaan, semoga bisa mengurangi tumpukan barang di gudang.
ReplyDeleteEverything start from single step.. aku juga masih bertahap banget mba. Semangat Mba Dyah, mulai mengurangi yg sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan..
Delete