Wednesday 5 December 2018

Selamat Jalan NH Dini

Lebih dari 15 tahun yang lalu, ketika saya masih sekolah di SMP di kota Solok Sumatera Barat saya meminjam buku di perpustakaan sekolah berjudul Namaku Hiroko. Ini adalah perkenalan pertama saya dengan NH Dini. Namaku Hiroko pertama kali diterbitkan pada tahun 1986 oleh Gramedia, saya tidak ingat buku yang saya baca dulu terbitan kapan, tapi saya ingat kondisi bukunya sudah kusam dan sampul yang sudah sedikit rusak.

Kali ini Nh. Dini bercerita mengenai wanita Jepang, Hiroko namanya. Seorang gadis desa yang mengadu untuk di kota besar. Mula-mula ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, kemudian beralih ke sebuah toko besar (pada siang hari) merangkap penari di sebuah kabaret (pada malam hari). Walaupun Hiroko banyak mengalami cobaan dalam mencapai cita-citanya, toh ia merasa puas dengan kehidupannya.
"Ya. Aku puas dengan kehidupanku", tutur Hiroko di ujung novel ini.
"Dan aku tidak menyesali pengalaman-pengalamanku". Bagaimanakah Hiroko mencapai kepuasan dalam hidupnya itu? Apa dan bagaimana pula pengalaman-pengalaman Hiroko itu - Jawabannya ada dalam buku ini

 Saat membaca itu, saya dibawa mengintip kehidupan di Jepang saat perang dunia ke-2 dan dikenalkan kepada tokoh yang tidak selalu baik. Hiroko adalah gadis yang unik, dan kalau boleh saya bilang, dia adalah orang yang sangat mementingkan diri sendiri. Dengan segala kekurangannya, anehnya sulit bagi saya untuk tidak menyukainya. Perjalanan dan kesusahan hidupnya sejak kecil mengaburkan cara Hiroko untuk memperoleh kesenangan dan uang, entah cara itu benar atau salah, pantas atau tidak pantas. Yang paling menyakitkan bagi saya adalah, bagaimana dia bisa bahkan rela menghianati temannya demi memuaskan nafsu pribadinya.

Namaku Hiroko, sebelum membaca novel ini saya sama sekali tidak tahu siapa NH Dini. Saya menyelesaikan bukunya dulu tanpa tahu ternyata itu adalah karya sastrawan besar Indonesia, pantaslah bukunya begitu menghipnotis saat saya saat itu.

Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau yang lebih dikenal dengan nama NH Dini memang sudah tak asing lagi sosoknya di dunia sastra Indonesia. Lahir di Semarang tanggal 29 Februari 1936, anak pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah ini sudah mulai tertarik dengan dunia tulis menulis sejak ia duduk di bangku SD.
Karya-karya NH Dini yang saya temukan dari author profile di Goodreads antara lain :
  • Padang Ilalang di Belakang Rumah 
  • Dari Parangakik ke Kampuchea 
  • Sebuah Lorong di Kotaku 
  • Jepun Negerinya Hiroko 
  • Langit dan Bumi Sahabat Kami 
  • Namaku Hiroko 
  • Tirai Menurun 
  • Pertemuan Dua Hati 
  • Sekayu 
  • Pada Sebuah Kapal 
  • Kemayoran 
  • Keberangkatan 
  • Kuncup Berseri 
  • Dari Fontenay Ke Magallianes 
  • La Grande Borne
Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.

Kehidupan pribadi NH Dini bagi saya cukup mencuri hati, menikah dengan Konsul berkebangsaan Perancis bernama Yvess Coffin, NH Dini melahirkan dua anak bernama Marie Claire dan Pierre Louis Padang yang kini masing-masing menetap di Kanada dan Perancis. Bagi yang belum tahu, Pierre Louis Padang merupakan seorang sutradara dari film animasi berjudul Despicable Me dan Minion yang sukses berbagai belahan negara di dunia.

Sebagai seorang istri diplomat, NH Dini diharuskan untuk mengikut suaminya berpindah-pindah dari satu negara ke negara yang lain. Ia bersama keluarganya pernah tinggal di Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, dan Perancis.

Namun, tahun 1984 ia bercerai dengan suaminya, meninggalkan anak-anak lalu kembali memperoleh kewarganegaraan Indonesia tahun 1985.

Masa tua NH Dini kemudian dihabiskan di Semarang. Karena tidak ingin merepotkan keluarganya, NH Dini menjual seluruh hartanya dan memutuskan hidup di panti jompo Semarang.

Baru saja, warga Indonesia dikejutkan oleh berita duka karena sastrawan ini baru saja tutup usia. Kecelakaan maut di tol Semarang mengantarkan NH Dini ke akhir kehidupannya, hidupnya yang juga penuh lika liku, tidak kalah dari novel yang ditulisnya.

Saya melihat video rekaman cctv kecelakaan ini, bagaimana maut memang bisa menjemput kapanpun tanpa aba-aba. Siapa sangka di jalan tol tiba-tiba ada truk yang mundur dengan kecepatan luar biasa dan menabrak 1 mobil dibelakangnya, hanya 1 mobil, yang kebetulan adalah mobil ditumpangi NH Dini. Melihat itu membuat saya merenung, sudahkan kita siap apabila maut menjemput tanpa diduga? Apa persiapan kita untuk menghadap sang pencipta? Dan sejauh apa kita telah berkarya dan bermanfaat bagi orang lain?

Selama jalan NH Dini, terima kasih atas karya-karya mu yang sangat memperkaya literasi Indonesia. Terima kasih telah memperkenalkan kepada Thessa kecil waktu itu bahwa karya Indonesia sangat mempesona.. 

0 komentar:

Post a Comment