Tuesday 2 September 2014

Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer by Pramoedya Ananta Toer


Pertama kali membaca buku Pramoedya Ananta Toer dan saya terpukau dengan bukunya. Dimulai dari Sekapur Sirih yang menggugah perasaan. Diceritakan bahwa buku ini ditulis oleh Pramoedya saat dia menjadi tahanan di pulau Buru. Naskah yang diperoleh oleh penerbit berupa fotocopi maskah yang ditulis dengan mesin ketik, banyak huruf yang tidak jelas dan diuraikan berulang. Hal ini menurut Pramoedya karena sebagai tahanan dia tidak diberikan kebebasan dalam menulis. Saat sekarang (2001) ketika telah bebas, kondisi kesehatan membatasi Pramoedya untuk menyelesaikan dan menyunting kembali bukunya. Dari hasil googling saya temukan ternyata yang dimaksud dengan tahanan di sini adalah saat Pramoedya menjadi tahanan di pulau Buru pada masa Soeharto dari tahun 1969 - 1979 karena dianggap komunis. Pada masa inilah buku ini ditulis..

Buku ini menceritakan potongan-potongan cerita tentang nasib perawan-perawa Indonesia pada saat masa kependudukan Jepang di Indonesia, sekitar tahun 1942-1945. Sejak Indonesia di ambil alih oleh Jepang dari Belanda & Sekutunya, Jepang memulai babak baru kekuasaannya di Indonesia. Diceritakan di buku ini bahwa nasib penduduk Indonesia jauh lebih menderita dibandingkan dengan saat pendudukan Belanda, termasuk bagi para perempuan-perempuan Indonesia yang masih muda dan perawan.

Pada awalnya, pemerintah Pendudukan Dai Nippon (Jepang) sering mengumukan bahwa mereka mengingikan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Oleh karena itu diperlukan kesiapan bagi genarasi-genearsi muda Indonesia untuk menghadapainya, salah satunya bahwa mereka akan menyekolahkan pribadi-pribadi terpilih ke Jepang dan Singapura. Jadi dipilihlah perawan2 dari daerah2 yang bukannya diberangkatkan untuk sekolah, tapi malah menjadi pemuas nafsu seks para tentara Jepang. Mereka sebagian besar berasal dari Jawa, dan dibawa ke berbagai daerah di Indonesia dan sebagian di luar Indonesia, salah satunya ke Pulau Buru. Di pulau Buru mereka di sebuah rumah, tertutup dari dunia luar dan ditempatkan di bilik2 untuk secara bergiliran memuaskan tentara Jepang. Ketika Jepang kalah dan meninggalkan Indonesia, para perempuan ini dibiarkan begitu saja. Mereka tanpa uang untuk kembali ke kampung halaman, harus mencoba bertahan hidup di Pulau Buru, ada yg akhirnya menikah dengan penduduk primitif setempat, dan ada juga yang lebih beruntung bisa hidup tidak di hutan dan lebih ke kota. Mereka inilah yang beberapa sempat bertemu dengan atau didengar ceritanya oleh Pramoedya saat dia di Pulau Buru. 

Membaca buku ini bagi saya sangat menyayat hati dan memilukan. Membayangkan bagaimana gadis2 muda, bahkan ada yang baru berumur 15 tahun dimanfaatkan dan direnggut keperawanannya seperti itu sampai mereka pingsan, bangun lagi dan pingsan lagi. Bagaimana mereka tidak dapat kembali ke kampung halaman bahkan setelah Jepang kalah, karena mereka telah merasa ternoda, tidak punya uang, tidak tahu jalan pulang.. Bahkan sampai mereka tua pun mereka tetap menderita karena harus hidup di primitif pulau buru, dimana di sana istri diperlakukan seperti barang yang bisa diperjualbelikan dan hampir seperti budak. Bagaimana keluarga mereka bahkan menganggap mereka telah mati karena tidak ada kabar berita sekian lama. Bagaimana pemerintah  yang tidak dapat menperkarakan itu untuk menuntut Jepang untuk bertanggung jawab karena kondisi Indonesia juga masih dalam perang mempertahankan kemerdekaan. 

Dari segi bahasa menurut saya bahasa yang digunakan tidak terlalu mengalir, entah karena terlalu banyak potongan2 cerita yang akan diceritakan, atau entah karena buku ini ditulis saat Pramoedya masih sebagai tahanan atau memang beginilah gaya tulisan Pramoedya saya tidak tahu, karena ini baru satu2nya bukunya yang saya baca. Tetapi pembaca dimudahkan dengan adanya kesimpulan di akhir setiap bab. Selain itu cerita yang diangkat buku ini menurut saya benar2 luar biasa sehingga menutupi gaya bahasanya yang kurang mengalir. 

Terimakasih Pramoedya, telah membuat saya lebih menghargai arti kemerdekaan, dan lebih bersyukur atas semua kebebasan yang saya miliki sebagai warga negara merdeka.. 



Jakarta, 
-3 hari sebelum Dirgahayu Indonesia ke 69-

5 comments:

  1. icaaaa, aku juga punyaa buku iniii. pernah jg nulis di blog
    http://storitie.wordpress.com/2009/10/14/perawan-remaja-dalam-cengkeraman-militer/
    tapi reviewnya ga sedetail ica,, terus terus cover bukunya tapi kok beda yaaa ca

    ReplyDelete
  2. Ca ketinggalan bgd yaa, baru baca padahal tanti dah baca dr 5th yg lalu.. Hehehe.. :D iyayaa, covernya bedaa, padahal penerbitnya sama.. Mungkin yg ini cober terbitan baru nya kali yaa.. ^^

    ReplyDelete
  3. Icha,aku pernah baca kisah ini ( bkn novelnya)..bbrp dr perempuan tsb ada yg mjd istri kepala suku di pulau buru tsb dan ttp memeluk Islam smp akhir hayatnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa ini jg bukan novel sih sebenrnya, nyeritain kisah nyata nasib mereka di pulau buru. Kayaknya mirip yaaa.. Ada yg nasibnya baik tp ada yg tragis huhuhu

      Delete