Halo semuanya!
Selamat tahun baru (walau telat 😁) dan akhirnya saya berhasil menulis postingan pertama tahun 2025 ini. Hehehe.. Postingan pertama kali ini tentang rubrik reportase asik dunia kepenulisan.
Sebelumnya saya mau cerita sedikit dulu guys. Akhir-akhir ini saya mulai aktif di Tiktok. Karena memang dasarnya saya suka banget edit-edit video. Bahkan dulu sebelum zaman capcut dan aplikasi edit, saya sudah pernah menang lomba video di kantor. Hehehe.. Belum pernah ikut lomba-lomba lain sih, tapi tetep aja seneng otak atik video. Oiya, Tiktok saya mostly membahas tentang tips menulis, karya saya dan review-review buku. Diselipin juga beberapa postingan random tentang #auhtorslife
Dengan aktif di Tiktok, ternyata saya mulai memperhatikan ada shifting nih dari content creator perbukuan. Saya jadi tertarik menyoroti beberapa era konten kreator perbukuan di Indonesia.
Era Blogger (2010-2018an)
Pada periode ini, banyak blogger yang fokus menulis tentang buku, baik dalam bentuk resensi, diskusi literatur, maupun pengalaman pribadi terkait membaca. Dulu blogger ini diwadahi oleh komunitas bernama Komunitas Blogger Buku Indonesia (BBI) resmi dibentuk pada 13 April 2011, dan kemudian pada 21 April 2011 dibentuk grup Facebook Blogger Buku Indonesia. Tujuan utama BBI adalah menularkan virus membaca sekaligus menulis, dengan kegiatan seperti posting resensi buku secara serentak setiap akhir bulan.
Saya sendiri dulu jadi anggota BBI baru sejak 2014. Dan dulu, penerbit saat akan menerbitkan buku, banyak yang menghubungi pengurus atau anggota BBI untuk diadakan review, blog tour dan giveaway. Masa-masa ini Blogger lagi rame-ramenya, dan kalau ada postingan terkait buku apalagi giveaway, pasti rame. Oiya, mostly juga blogger buku ini tidak mengenakan tarif untuk jasa review mereka. Karena memang komunitas ini berisi orang-orang yang suka membaca dan pasti happy banget dapet buku gratis. Hehehehe.. Saya juga waktu itu berkali-kali waktu itu dapat buku gratis😍.
Saya jadi ingat dulu novel pertama saya, Nikah Muda, sekitar tahun 2018,
saat terbit masih bisa merasakan benefit para blogger buku ini. Walaupun waktu
itu sudah mulai sepi, jadi saya kombinasikan dengan promo di Instagram juga.
Sekarang beberapa blogger masih aktif menulis di blog sebenarnya. Tapi sudah hampir tidak pernah lagi ada acara-acara seperti giveaway, blog tour, dan lain-lain. Beberapa masih menulis dan update blog, menurut saya karena mereka secinta itu dengan menulis, membaca dan berbagi, terlepas ada atau tidaknya gimmick dari penerbit atau penulis. Seperti saya yang masih suka nulis di sini sejak 2009 (walau angin-anginan juga updatenya😂)
Era Instagram (sekitar 2015 – 2023)
Lama kelamaan blogger buku ini udah mulai sepi. Dan ternyata banyak yang mulai berpindah ke Instagram. Dengan meningkatnya popularitas Instagram, komunitas pecinta buku mulai memanfaatkan platform ini untuk berbagi ulasan dan rekomendasi buku melalui foto-foto estetis yang dikenal dengan istilah "Bookstagram". Tagar #bookstagramindonesia sampai dipakai di ratusan ribu postingan, menunjukkan antusiasme yang tinggi pecinta buku dalam berbagi dan mendiskusikan buku. Saya pun akhirnya membuat satu akun bookstagram @mybooklyfe waktu itu 😁:
Kalau dulu sebagai blogger, kita harus belajar bagaimana menulis SEO (Search Engine Optimization) friendly, gimana postingan bisa jadi urutan teratas pencarian di mesin pencari (i.e. Google), Bookstragram beda lagi. Bookstagram yang bisa mendapatkan banyak follower biasanya adalah yang posting konten dengan foto estetik, review menarik dan tentu saja rutin update. Hehehe.. Bahkan bookstragram dengan follower ribuan juga bisa mengenakan rate card untuk review dan upload buku loh.
Dengan adanya instagram, penulis dan penerbit diberikan
kemudahan untuk reach out langsung ke bookstagram yang diinginkan untuk review
buku. Bahkan waktu saya menerbitkan buku Semangat, Tante Sasa! dan If I Met YouFirst, penerbit saya sudah memberikan list akun bookstagram yang bisa saya
pilih untuk mempromosikan buku.
Istilah Pada Dunia Buku dan Bookstagram yang Wajib Kamu Tahu
Era TikTok (sekitar 2020 – sekarang)
Setelah era foto estetik di Instagram, sekarang content
creator mulai beralih ke video. TikTok membawa inovasi baru dalam promosi buku
melalui tren yang dikenal sebagai "BookTok". Pengguna TikTok saling
berbagi informasi dan rekomendasi buku melalui video singkat yang kreatif dan
biasanya lebih ekspresif. Jadi ulasan buku pada BookTok cenderung emosional dan
menarik. Tren ini tidak hanya menghidupkan kembali ketertarikan pengguna untuk
membaca buku, tetapi juga membantu penerbit dan penulis mempromosikan buku
terbitannya kepada publik.
@thessalivia Replying to @butircollection Makasii banyak yaaa Kak 😍😍 Karena aku pengen pembaca juga ikut merasakan yang rasakan saat mengunjungi tempat2 baru 🥰💖 #novel #BookTok #europe #hongkong ♬ I'm Falling In Love - Wildflowers
Salah satu fitur Tiktok yang banyak digunakan Booktok adalah
keranjang kuning dengan menjadi Tiktok Affiliate. Jadi content creator itu bisa menyisipkan
link atas buku yang mereka promosikan, dan nantinya akan mendapatkan fee atas setiap
buku yang terjual. Jika dulu buku gratis bisa didapatkan content creator dengan
menunggu di-reach out penulis dan penerbit, sekarang mereka bisa lebih aktif dengan request
sendiri ke penerbit atau penjual buku dengan “request sample” sebagai Titktok
Affiliate.
Dengan adanya keranjang kuning, juga banyak penulis yang
langsung mengiklankan bukunya sendiri. Bahkan banyak buku indie yang bisa
mendapatkan banyak pembeli dan pembaca dengan keranjang kuning ini.
Perubahan merupakan hal yang tidak tehindarkan
Perubahan era di atas menunjukkan adaptasi komunitas literasi
Indonesia terhadap perkembangan teknologi dan platform digital, dengan tujuan
utama tentu saja untuk terus berbagai tentang buku dan mudah-mudahan bisa
meningkatkan minat baca dan literasi di masyarakat. Pentingnya kita juga untuk
beradaptasi karena dunia ternyata berubah dengan cepat, dan kebiasaan orang
juga begitu.
Pada setiap era konten kreator perbukuan di Indonesia memiliki
tantangan dan strategi berbeda dalam menarik audiens. Pada era Blogger, penulis
harus memahami cara menulis artikel yang SEO-friendly agar tulisannya muncul di
peringkat atas mesin pencari seperti Google, termasuk penggunaan kata kunci
yang tepat dan struktur tulisan yang baik. Berbeda dengan itu, era Instagram
atau Bookstagram lebih mengandalkan visual yang estetis, ulasan yang menarik,
dan konsistensi dalam mengunggah konten agar bisa mendapatkan banyak pengikut.
Sementara di era TikTok atau BookTok, tantangannya terletak pada kemampuan
mengedit video yang engaging dan memahami pentingnya hook dalam 2 detik pertama
agar penonton tertarik melanjutkan video hingga selesai. Adaptasi terhadap
setiap platform ini menunjukkan bagaimana cara berbagi ulasan buku terus
berkembang sesuai dengan perubahan tren digital.
Selain platform di atas sebenarnya juga ada platform lain
seperti Youtube. Banyak youtuber luar yang aktif me-review buku sebenernya, tapi
sayangnya Youtuber Indonesia belum terlalu banyak. Mungkin kapan-kapan saya
akan bahas di reportase selanjutnya😁.
Demikian cerita kita pagi ini. Kira-kira dari semua era di atas, kamu paling nyaman saat berada di era mana aja? Share di komen yaaa.. 😉
0 komentar:
Post a Comment