Sunday 21 October 2018

Antologi 5 Kisah Pada Buku Me Time


Blurb
Anak yang menangis dan bertengkar satu sama lain. Suami yang cuek. Cucian baju dan piring yang menumpuk. Lantai rumah yang lengket karena belum dipel. Belum lagi pekerjaan demi sesuap berlian yang juga meminta perhatian.
Dilanda berbagai beban itu, apa lagi yang paling dibutuhkan para mama muda selain me time? Sejenak rehat dari hiruk pikuk rumah tangga dan kehidupan.
Namun, apakah me time dapat diperoleh dengan mudah? Bagaimana kalau me time malah menggiring para mama muda kepada kepanikan baru, eksplorasi jati diri, kenangan masa lalu, jodoh kedua, atau malah melontarkannya ke masa depan?
Nikmati kisah-kisah me time yang dirangkai lima pengarang yang juga mama muda dalam antologi ini.

 Waktu pertama baca judul dan blurb buku ini, terus terang saya membayangkan isinya adalah tipikal cerita curhatan emak2 yang susah sekali mendapatkan me time. Emak2 dengan segala kesibukannya mengurus anak dengan pekerjaan dan urusan rumah, plus jangan lupa komentar2 yang tidak mengenakkan dari orang sekelilingnya. Ternyata cerita yang disajikan melebihi ekspektasi saya, total ada 5 cerita pendek pada buku ini, ada cerita yang dibalut dengan genre scifi, ada juga yg ada nuansa horornya.

Save The Last Dance by Lea Agustina Citra
Pada cerita pertama ini saya sudah dibuat jatuh cinta dengan penokohannya, Maya dan Reno. Saya amaze dengan cerita yang pendek, pengarangnya mampu membuat pendalaman karakter dan background tempat yang terasa nyata. Apalagi bukunya menyinggung2 Topeng Kaca favorit Maya, yang juga pernah menjadi favorit saya dulu 😁
Maya dan Reno bertemu di Eropa, jatuh cinta dan tidak lama bertemu mereka menikah. Konflik yang disajikan adalah bagaimana Maya mencoba bertahan dengan anaknya di usia muda, sementara Reno sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter. Saya sama sekali tidak menyangka ternyata ada kejutan sentuhan fantasi di cerita ini. Sukaa pokoknya sama cerita pertama buku ini. 


Setelah Fio Hadir by Ken Terate

Membaca cerita kedua buku ini seperti membaca status sosmed mama muda yang galau antara pekerjaan dan waktunya dengan anak. Ternyata dugaan saya tidak sepenuh salah tentang buku ini. Gaya cerita yang sangat naratif dan minimnya percakapan benar2 membuat saya seperti membaca diari curhatan orang lain. Cerita pun tidak memberikan kejutan2 atau klimaks yang tidak terduga. Hehhe.. Bukan bermaksud apa2, mungkin memang circle saya membuat saya sangat akrab dengan ceritanya, sehingga saya tidak merasakan sesuatu yang spesial dari cerita ini. 


The Singing Coffin by Ruwi Meita
Naah ini cerita favorit saya di buku ini. Singing coffin, menceritakan tentang wanita yang bisa mendengarkan suara senandung dari peti mati apabila akan ada yang meninggal. Horor kan? Hehehe. Sebenernya cerita mengalir tanpa terlalu menyeramkan, tapi tetap membuat penasaran. 


Pangeran untuk Nina by Mia Arsjad
Cerita yang ini tentang Nana, single mom yang juga bekerja, kebayang kan susahnya kalau mau me time. Tapi ceritanya dipermanis dengan pacar yang super baik, ganteng dan royal pula. Sampe bayarin liburan ke Bali coba biar bisa Me Time coba.. hehe.. ceritanya fun, ga meledak2 tapi ga bosenin. 


Tiket by Donna Widjajanto
Cerita terakhir ini lebih ke pencarian jati diri. Setelah tidak sengaja lupa membeli tiket buat diri sendiri untuk liburan keluarga, Iliana mendadak jadi punya me time beberapa hari sementara suami dan anak2nya terpaksa pergi berlibur tanpanya. Sepanjang me time nya Iliana kembali merenung, sebenarnya apa yang dia cari, apa artinya seorang Illiana..

 Saya selalu suka membaca kumcer, apalagi kalau ceritanya ditulis oleh pengarang yang berbeda. Karena saya sangat menikmati buku ini saat membacanya, 3,5 bintang untuk buku ini. 


Judul buku: Me Time (Cerita Mamah Muda #2)
Penulis: Lea Agustina Citra, Ken Terate, Ruwi Meita, Mia Arsjad, Donna Widjajanto
Penyunting: Donna Widjajanto
Perancang sampul: Orkha Creative
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020387413
Cetakan pertama, 27 Agustus 2018
272 halaman

Oiya, sebagai mahmud anak 2, waktu kerja dr pagi ketemu gelap baru nyampe rumah, gatel rasanya kalau ga nulis tentang Me Time versi saya juga. Hehehe. Memang kadang kesibukan dan rutinitas membuat kita lupa sebenarnya apa yang kita suka dan apa yang ingin kita capai, (seperti Illiana di cerita terakhir). Semakin lama seperti itu, akan membuat kita merasakan hidup menjadi semakin monoton dan kehilangan semangat.
Pesan saya cuma : carilah hobi yang menyenangkan dan selalu jaga mulut setiap mau menghakimi perempuan lainnya. Pertama untuk hobi, tidak ada salahnya sedikit meluangkan waktu misalnya untuk berolah raga, atau ke salon, atau dalam hal saya, membaca buku yang menyenangkan. Sesungguhnya hati istri yang bahagia sangat mempengaruhi juga kebahagiaan anak2 dan suaminya. Menyempatkan diri 1 jam per hari untuk diri sendiri sama sekali tidak membuat kita menjadi ibu yang buruk kok, apalagi kalau cuma sekali seminggu, atau malah sebulan sekali. Hehehe.
Yang kedua untuk selalu berpikir masak2 setiap mengeluarkan kata2 yang menghakimi mama muda lainnya. Ini penting karena kita tidak tau apa yang mereka rasakan, pertimbangan apa yang mereka punya, jadi jangan menghakimi apa yang mereka lakukan hanya karena mereka mengambil pilihan yang berbeda dari kita. Hati2 lah memberikan masukan ini itu tanpa diminta. Saya pernah loh dijudge tidak sayang anak hanya karena saya menghabiskan waktu 1jam sepulang kantor untuk berolah raga sebelum pulang ke rumah, padahal itu adalah olah raga pertama bagi saya setelah sekian bulan tidak pernah bergerak. Saya juga pernah dijudge sangat sempatnya berleha2 di rumah dan tidak bermain bersama anak karena masih bisa membaca novel dengan rutin, padahal mereka tidak pernah tau kalau saya hanya membaca saat perjalanan pergi dan pulang kantor, di rumah pun membaca hanya saat anak2 tidur. Jadi, marilah kita selalu menjadi wanita yang positif dan suportif. Tidak ada salahnya kan ikut berbahagia dan memberikan tanggapan yang positif untuk orang2 disekitar kita.. 😊

“Setiap orang butuh sendiri. Kupikir itu tidak egois. Bukankah kita harus tetap menjaga kewarasan kita?” (Hal 142).






2 comments: